Tangkapan layar video viral sumbangan komite 100 ribu per bulan.
Brilian-news.id Tulungagung – Polemik mencuat setelah beredarnya video berdurasi 1 menit 47 detik yang memperdengarkan percakapan antara seorang siswa dengan suara perempuan yang diduga merupakan staf atau guru di SMAN 1 Kauman Tulungagung. Dalam video tersebut, terdengar pembicaraan mengenai sumbangan komite sebesar Rp100 ribu per bulan, yang seolah-olah bersifat wajib, sehingga memicu reaksi luas di masyarakat.
Menanggapi hal itu, Kepala SMAN 1 Kauman, Agus Sugiarto, pada Sabtu (1/11/2025) memberikan klarifikasi resmi bahwa sumbangan komite bersifat sukarela, bukan kewajiban yang dibebankan kepada orang tua murid.
“Sumbangan komite itu sifatnya sukarela, bukan kewajiban. Bagi yang mau menyumbang silakan, yang tidak pun tidak apa-apa. Tidak ada konsekuensi apapun,” tegas Agus.
Namun, pernyataan kepala sekolah tersebut dinilai bertolak belakang dengan fakta yang terekam dalam video viral. Dalam potongan video yang beredar di berbagai platform media sosial, terdengar suara perempuan menyebutkan bahwa sumbangan merupakan kesepakatan komite, dan apabila ada wali murid yang keberatan, diminta untuk datang langsung ke sekolah. Pernyataan itu menimbulkan kesan bahwa sumbangan bersifat wajib dan mengikat, berbeda dengan klaim sukarela yang disampaikan oleh pihak sekolah.
Menanggapi hal tersebut, LSM Independen Masyarakat Indonesia (IMI) menilai bahwa adanya perbedaan antara klarifikasi kepala sekolah dan isi video menunjukkan indikasi lemahnya transparansi serta komunikasi internal di lingkungan sekolah.
“Video itu memperlihatkan adanya ketidaksinkronan antara fakta di lapangan dengan pernyataan resmi pihak sekolah. Ini bisa menimbulkan kesan adanya tekanan moral kepada wali murid agar tetap menyumbang, padahal seharusnya bersifat sukarela,” ujar Topan Kristiantoro, perwakilan IMI.
IMI juga meminta pihak Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur untuk melakukan evaluasi dan klarifikasi mendalam terhadap praktik pengumpulan sumbangan di sekolah negeri agar tidak menimbulkan persepsi pungutan terselubung.
“Kami berharap ada langkah tegas dan transparan dari pihak dinas agar tidak muncul lagi praktik yang berpotensi menyalahi aturan penggunaan dana partisipatif,” tambahnya.
Kasus ini kini menjadi sorotan publik karena menyinggung etika dan transparansi pengelolaan dana komite di sekolah negeri, yang seharusnya dijalankan dengan prinsip sukarela, tanpa paksaan, dan disertai komunikasi yang terbuka antara sekolah, komite, dan wali murid. (Rudi)
									
              




