KDM Tuding Aqua dari Sumur Bor, Bambang Haryo : Jangan Merusak Kredibilitas Lembaga Negara

Jumat, 31 Okt 2025 10:17 WIB
KDM Tuding Aqua dari Sumur Bor, Bambang Haryo : Jangan Merusak Kredibilitas Lembaga Negara
Anggota Komisi VII DPR-RI Bambang Haryo Soekartono di Gedung DPR-RI Jakarta/Istimewa

Jakarta – Kritik terhadap perusahaan besar seperti AQUA seharusnya disampaikan dengan dasar riset yang kuat, bukan sekadar opini pribadi. Hal itu ditegaskan oleh Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi Gerindra, Bambang Haryo Soekartono (BHS), menanggapi pernyataan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (KDM) yang meragukan sumber air kemasan AQUA.

BHS menilai, tudingan KDM bahwa AQUA menggunakan air bor bukan air pegunungan justru berpotensi menciptakan kesalahpahaman publik dan mengganggu iklim investasi. Padahal, kata BHS, berbagai lembaga riset kredibel sudah memastikan bahwa air yang digunakan AQUA benar-benar bersumber dari pegunungan.

“Para ahli dari UGM, ITB, dan BRIN sudah melakukan kajian ilmiah dengan hasil yang jelas. Sumber air AQUA berasal dari mata air pegunungan, bukan sumur bor seperti yang disampaikan,” ujar BHS di Jakarta.

Menurut BHS, pernyataan sepihak tanpa rujukan ilmiah sama saja meragukan kredibilitas lembaga negara yang mengeluarkan izin usaha. AQUA, kata dia, telah memenuhi seluruh persyaratan legal mulai dari Izin Pengambilan Air Tanah (SIPA), izin edar dari BPOM, hingga sertifikat SNI dari Kementerian Perindustrian.

“AQUA itu perusahaan internasional dengan reputasi tinggi. Semua izinnya melewati proses ketat dan melibatkan banyak lembaga negara. Tidak mungkin mereka beroperasi tanpa pengawasan,” tegasnya.

BHS menyebut, pernyataan KDM yang terekam dalam unggahan media sosial setelah melakukan sidak ke pabrik AQUA Subang telah menimbulkan persepsi negatif di masyarakat. Ia menilai, tindakan tersebut bukan hanya menyerang perusahaan, tetapi juga melecehkan otoritas lembaga negara yang memberikan izin.

BHS menekankan, keberadaan AQUA selama ini justru membawa manfaat ekonomi luas bagi masyarakat Indonesia. Ia menyebut, dari sekitar 67 juta pelaku UMKM, sebanyak 70 persen di antaranya menjual produk air minum kemasan seperti AQUA.

“Air kemasan ini menghidupi jutaan pedagang kecil, warung, hingga pengecer di pinggir jalan. Ini bentuk ekonomi rakyat yang nyata,” ujarnya.

BHS juga mengungkapkan bahwa AQUA rutin memberikan kontribusi keuangan kepada PDAM daerah sebesar Rp600 juta per bulan, meskipun tidak menggunakan air dari PDAM. Menurutnya, dana tersebut seharusnya dimanfaatkan untuk memperluas jaringan air bersih bagi masyarakat, bukan justru menjadikan perusahaan sebagai kambing hitam.

Politikus Gerindra itu menilai, isu yang seharusnya menjadi perhatian utama pemerintah daerah bukan soal sumber air perusahaan, melainkan minimnya akses air bersih bagi masyarakat.

Ia menyebut, jaringan pipa air minum PDAM di Jawa Barat baru menjangkau sekitar 25 persen penduduk, padahal provinsi ini memiliki sumber daya air yang melimpah seperti Sungai Citarum.

“Seharusnya Gubernur fokus memperbaiki jaringan pipa air minum untuk rakyat. Karena itu adalah hak dasar masyarakat,” tutur BHS.

Ia menambahkan, masyarakat membeli air kemasan bukan karena pilihan, tetapi karena kebutuhan akibat belum tersedianya pasokan air bersih dari pemerintah daerah.

BHS mengingatkan agar pejabat publik berhati-hati dalam mengeluarkan pernyataan, terutama terhadap sektor industri yang telah berkontribusi besar bagi ekonomi nasional. Menurutnya, ucapan yang tidak berdasar bisa memicu efek domino terhadap pelaku usaha, tenaga kerja, dan kepercayaan investor.

“Sekali pernyataan salah diucapkan, efeknya bisa panjang. Bisa menghancurkan usaha kecil yang menggantungkan hidup dari produk tersebut,” katanya.

Senada dengan BHS, Ketua DPD RI Sultan Bachtiar Najamudin juga mengingatkan agar pengawasan terhadap swasta dilakukan dengan tenang dan profesional.

“Pengawasan penting, tapi jangan dibuat gaduh. Jangan sampai niat baik malah menghambat investasi yang justru membuka lapangan kerja,” ucap Sultan.

Di akhir pernyataannya, BHS mengajak seluruh pejabat daerah agar mengedepankan data, riset, dan koordinasi sebelum menyampaikan sesuatu di ruang publik. Ia menilai, menjaga stabilitas dunia usaha sama pentingnya dengan menjaga kesejahteraan rakyat.

“Kita harus berpikir jernih. Jangan sampai opini pribadi menimbulkan keresahan publik dan merugikan ekonomi rakyat kecil,” pungkasnya.

Pos terkait