Jakarta – Anggota Komisi VII DPR RI, Bambang Haryo Soekarno (BHS), mengkritik keras kebijakan Gubernur Bali melalui Surat Edaran Nomor 9 Tahun 2025 yang melarang produksi air minum dalam kemasan (AMDK) berukuran di bawah 1 liter. Ia menilai kebijakan tersebut akan berdampak luas terhadap industri, pelaku usaha kecil, hingga pemulung.

“Larangan ini bisa mematikan industri AMDK, industri kreatif, daur ulang, dan tentunya mengganggu mata pencaharian para pemulung,” kata Bambang dalam pernyataan tertulis, Kamis (10/4).

Menurutnya, alasan lingkungan yang menjadi dasar larangan tersebut tidak sepenuhnya tepat. Ia menjelaskan, berdasarkan data, sekitar 70% sampah di Bali merupakan sampah organik, sedangkan sampah anorganik hanya mencakup 28%. Dari total sampah anorganik, botol plastik hanya berkontribusi sekitar 16%, dan AMDK berukuran kecil bahkan tak sampai 5%.

Baca Juga :  Anggota DPR-RI Bambang Haryo Desak Kemenhub Normalisasi Alur Pelayaran

“Masalahnya bukan pada botol kecil, tetapi pada sistem pengelolaan sampah yang tidak efektif,” tegasnya.

Bambang menyarankan Pemerintah Provinsi Bali untuk lebih fokus pada penyediaan sarana pemilahan sampah di fasilitas umum. Menurutnya, langkah ini lebih solutif daripada melarang produksi AMDK ukuran kecil.

“Pemerintah seharusnya menyediakan tempat sampah terpilah: organik, anorganik plastik, dan anorganik non-plastik. Itu solusi nyata,” ujarnya.

Selain berdampak pada sektor industri dan ekonomi masyarakat, larangan tersebut juga dianggap menyulitkan konsumen. Ia menyebut banyak masyarakat yang memilih kemasan di bawah 1 liter karena praktis dan mudah dibawa.

“Botol kecil lebih ringan dan mudah dibawa, apalagi untuk wisatawan atau masyarakat yang mobile,” tambahnya.

Baca Juga :  Anggota DPR-RI Bambang Haryo, Soroti Minimnya Sosialisasi Situs Majapahit di Kalangan Pelajar

Ia pun mengingatkan bahwa Bali telah memiliki dasar hukum untuk menangani pelanggaran pembuangan sampah, yakni Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2015 tentang Ketertiban Umum. Dalam aturan tersebut, pelanggar dapat dikenai sanksi kurungan maksimal enam bulan atau denda hingga Rp50 juta.

“Perda itu harus ditegakkan. Berikan sanksi tegas kepada pelanggar, dan libatkan masyarakat dalam pengawasannya,” tegas Bambang.

Sebagai contoh, ia menyebut Kota Surabaya yang telah menerapkan pengelolaan sampah secara ketat melalui Perda dan operasi yustisi. Masyarakat pun dilibatkan aktif dalam pelaporan pelanggaran.

“Surabaya sudah membuktikan, tidak perlu mematikan industri, tapi cukup dengan penegakan aturan dan partisipasi publik,” pungkasnya.