Brilian News.id |Surabaya (17/02) –Dalam PRESS RELEASEnya, Komunitas Penyayang Ikan dan Perairan Nusantara (KOPIPA) menyesalkan sikap Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang dinilai abai terhadap kelestarian ekosistem Sungai Brantas. Dalam kegiatan “Ronda Sungai,” KOPIPA menemukan lebih dari 1.000 bangunan liar di bantaran sungai yang membuang limbah cair dan sampah plastik langsung ke perairan, memperparah tingkat pencemaran.

Sebagai bentuk protes atas memburuknya kondisi Sungai Brantas akibat limbah industri dan domestik, KOPIPA menggelar aksi teatrikal bertajuk “Menolak Punah” di Sungai Kali Mas, Surabaya. Aksi ini menyoroti hilangnya spesies ikan lokal serta ancaman terhadap ekosistem sungai. Sebanyak 30 aktivis lingkungan dari berbagai latar belakang, termasuk mahasiswa Universitas Brawijaya dan Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, turut serta dalam aksi ini. Mereka membawa replika ikan sepanjang enam meter yang mengambang di sungai serta membentangkan poster bertuliskan “Menolak Punah.”

Sungai Brantas merupakan sumber air utama bagi jutaan penduduk Jawa Timur, namun kondisinya semakin mengkhawatirkan. Berdasarkan data pemantauan kualitas air, lebih dari 70% wilayah sungai tercemar limbah industri dan domestik. Salah satu temuan utama adalah konsentrasi amoniak yang mencapai 3,00 ppm di sekitar outlet limbah cair industri penyedap rasa di Jombang, jauh di atas baku mutu 0,1 ppm atau 30 kali lipat dari batas aman.

“Konsentrasi amoniak dalam limbah industri yang dibuang ke Sungai Brantas melebihi baku mutu. Ini berdampak serius terhadap kesehatan masyarakat, terutama karena sungai ini menjadi bahan baku Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Masyarakat yang mengonsumsi air PDAM dari Sungai Brantas berisiko mengalami gangguan pencernaan, fungsi ginjal, hati, serta paparan jangka panjang yang berpotensi karsinogenik,” ujar Alaika Rahmatullah, koordinator Ronda Sungai.

Dalam kegiatan Ronda Sungai, KOPIPA juga menemukan bahwa beberapa industri besar yang berkontribusi terhadap pencemaran adalah PT Tjiwi Kimia. Pentolan Ecoton Prigi Arisandi juga menambahkan PT Daesang ingredient Indonesia, PT Cheil Jedang Ploso. Limbah cair yang dibuang industri ini berwarna coklat pekat, berbau menyengat, dan bersuhu tinggi. Limbah semacam ini dapat menurunkan kadar oksigen terlarut (DO) dalam air, mengganggu metabolisme biota sungai, serta mempercepat proses eutrofikasi yang berpotensi memicu ledakan pertumbuhan alga beracun.

Berdasarkan data Onlimo KLHK per 15 Februari 2025, Sungai Brantas di Kota Kediri tercemar berat dengan kadar amoniak mencapai 13,56 ppm, BOD 7,36 ppm, dan TSS 6,22 ppm. Indeks pencemaran mencapai 10,02, menunjukkan tingkat bahaya yang tinggi.

“Pencemaran ini juga diperparah oleh kontaminasi mikroplastik. Penelitian Ecoton menunjukkan bahwa Sungai Brantas memiliki tingkat pencemaran mikroplastik tertinggi di Indonesia, dengan 636 partikel per 100 liter air, yang berdampak langsung pada rantai makanan, ekosistem perairan, dan kesehatan manusia,” ujar Rafika Aprilianti, Kepala Laboratorium Ecoton.

Selain pencemaran, kawasan hulu Sungai Brantas di Kota Batu mengalami deforestasi yang masif. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas berada dalam kondisi kritis, dengan luas lahan kritis mencapai 925 hektar di kawasan hutan dan 1.899 hektar di luar kawasan hutan. Kondisi ini menyebabkan laju erosi meningkat hingga 2.268 ton per hektar per tahun, naik sekitar 300% dibandingkan sebelumnya. Kekritisan lahan juga berdampak pada berkurangnya jumlah mata air di Kota Batu, dari 109 menjadi hanya 57 mata air.

“Salah satu penyebab kritisnya DAS Brantas adalah alih fungsi kawasan hutan, terutama wilayah lindung yang berubah menjadi lahan pertanian. Selain itu, ekosistem riparian yang seharusnya dipenuhi vegetasi pohon kini berubah menjadi permukiman,” ujar Imanuel, mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perikanan Universitas Brawijaya.

Deforestasi ini berdampak langsung pada ekosistem ikan lokal. Beberapa spesies endemik yang sebelumnya melimpah kini semakin sulit ditemukan, menandakan ketidakseimbangan ekosistem yang semakin parah.

Aktivis lingkungan mendesak pemerintah untuk mematuhi putusan Mahkamah Agung (MA) terkait kasus ikan mati massal akibat kelalaian dalam pengelolaan sungai. Putusan MA Nomor 1190K/PDT/2024 tertanggal 30 April 2024 menolak kasasi yang diajukan oleh Gubernur Jawa Timur dan Menteri PUPR.

“Hingga saat ini, belum ada langkah konkret dari pemerintah dalam menindaklanjuti putusan tersebut. Pemerintah terkesan mengulur waktu dan mencari pembenaran, alih-alih melakukan introspeksi,” ujar Jofan Ahmad, Koordinator KOPIPA.

Kasus ikan mati massal yang terus berulang menjadi bukti nyata kelalaian pemerintah dalam mengelola ekosistem sungai. Kondisi ini seharusnya menjadi peringatan serius bahwa pencemaran sungai yang terjadi saat ini adalah bencana bagi masa depan.

Melalui aksi ini, KOPIPA mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah konkret dalam pemulihan Sungai Brantas. Adapun tuntutan yang diajukan meliputi:

• Memperketat regulasi pembuangan limbah industri dan memberikan sanksi tegas bagi perusahaan yang mencemari sungai tanpa pengolahan yang layak.

• Meningkatkan sistem pemantauan kualitas air secara transparan, dengan pemasangan alat pemantau kualitas air disertai CCTV yang dapat diakses secara real-time oleh masyarakat.

• Memulihkan ekosistem sungai melalui reforestasi kawasan hulu dan menindak tegas praktik deforestasi yang memperburuk kondisi sungai.

• Membentuk satuan tugas khusus pengawasan sungai yang melibatkan masyarakat sipil dan akademisi dalam mengawasi kebijakan pengelolaan perairan.

Aksi “Menolak Punah” di Sungai Kali Mas diharapkan menjadi pemantik kesadaran bagi pemerintah dan masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian Sungai Brantas. KOPIPA menegaskan bahwa upaya penyelamatan ekosistem sungai bukan hanya tanggung jawab aktivis lingkungan, tetapi juga kewajiban pemerintah dalam memastikan keberlanjutan sumber daya air bagi generasi mendatang.