Gresik | Brilian News.id – Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia telah menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, dan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Dengan demikian, kedua pihak tersebut diwajibkan untuk mengambil langkah-langkah pemulihan atas pencemaran yang terjadi di Sungai Brantas.
Keputusan ini tertuang dalam Putusan MA Nomor: 1190K/PDT/2024 yang dikeluarkan pada 30 April 2024, terkait perkara antara Gubernur Jawa Timur dan Menteri PUPR melawan Yayasan Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (ECOTON).
Koordinator Advokasi Kali Brantas dari Ecoton, Alaika Rahmatullah, menyatakan bahwa dengan putusan MA ini, Gubernur Jawa Timur dan Menteri PUPR harus menjalankan 10 putusan yang telah ditetapkan oleh Pengadilan Negeri Surabaya melalui Putusan Nomor 8/Pdt.G/2019/PN.Sby, yang juga telah diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Jawa Timur dengan Putusan Nomor 117/PDT/2023/PT.SBY.
Menurut Alaika, kerusakan di Sungai Brantas semakin tidak terkendali. Ia menyoroti industri yang bebas membuang limbah tanpa pengolahan serta maraknya pemukiman di sekitar sungai akibat abainya PUPR, yang berkontribusi pada meningkatnya volume sampah plastik di Sungai Brantas.
Dasa Karsa Sungai Brantas
Selama 10 tahun terakhir, masyarakat menilai pengelolaan Sungai Brantas sangat buruk. Berdasarkan survei Ecoton yang melibatkan 535 warga di Jawa Timur, 62,1% menyatakan bahwa pengelolaan Sungai Brantas oleh Gubernur Khofifah masuk dalam kategori buruk. Sebanyak 88% responden meyakini bahwa Sungai Brantas masih tercemar, dengan sumber utama pencemaran berasal dari sampah plastik dan limbah cair rumah tangga (73,5%) serta limbah industri (25%). Pembiaran pembangunan rumah permanen di bantaran sungai juga menjadi salah satu penyebab utama, dengan 67,7% warga menyatakan bantaran sungai tidak terawat.
Putusan PN Surabaya memerintahkan para tergugat untuk:
1. Meminta maaf kepada masyarakat di 15 kota/kabupaten yang dilalui Sungai Brantas atas kelalaian pengelolaan yang menyebabkan kematian massal ikan setiap tahunnya.
2. Memasukkan program pemulihan kualitas air Sungai Brantas ke dalam APBN 2020.
3. Memasang CCTV di setiap outlet wilayah DAS Brantas untuk meningkatkan pengawasan pembuangan limbah cair.
4. Melakukan pemeriksaan independen terhadap seluruh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) di Jawa Timur yang melibatkan masyarakat, akademisi, dan NGO terkait.
5. Mengeluarkan peringatan kepada industri di wilayah DAS Brantas untuk mengelola limbah cair sebelum dibuang ke sungai.
6. Memberikan sanksi administrasi kepada industri yang melanggar atau membuang limbah cair melebihi baku mutu.
7. Memasang alat pemantau kualitas air secara real-time di setiap outlet pembuangan limbah cair sepanjang Sungai Brantas.
8. Melakukan kampanye dan edukasi kepada masyarakat di wilayah Sungai Brantas untuk tidak mengonsumsi ikan yang mati akibat limbah industri.
9. Mengkoordinasikan dengan industri mengenai tata cara pengelolaan limbah cair yang menjadi tanggung jawab industri.
10. Membentuk tim SATGAS untuk memantau dan mengawasi pembuangan limbah cair di Jawa Timur.
Ecoton juga mendesak Gubernur Jawa Timur, Menteri PUPR, dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menetapkan kebijakan tentang standar prosedur operasi penanganan jika terjadi kematian massal ikan dan melakukan upaya pemulihan ekologis. “Selama ini, kejadian kematian massal ikan terus berulang tanpa penyelesaian karena penyebabnya tidak diungkap ke publik dan cenderung diabaikan,” ungkap Prigi Arisandi, Manager Sains, Seni, dan Komunikasi Ecoton.
Prigi Arisandi menambahkan, dalam Penelusuran Ecoton pada 2022 hingga 2024. menjelaskan bahwa tidak kurang dari 10 perusahaan terpantau masih membuang limbah yang menimbulkan perubahan lingkungan dan menimbulkan kontaminasi Mikroplastik.
Pembuangan limbah oleh industri menimbulkan penurunan Kadar Oksigen dalam air yang memicu ikan-ikan kekurangan oksigen.