Brilian°Surabaya – Pekerja atau buruh kontrak PT Bumi Menara Internusa (BMI) tidak semuanya mendapat perlindungan jaminan sosial pada BPJS Ketenagakerjaan (BPJSTK) dan BPJS Kesehatan (BPJSKES).
Dari informasi yang diterima redaksi, perusahaan yang memproduksi produk makanan laut diduga sengaja melakukan perjanjian kontak kerja yang dibuat secara bulanan untuk menghindari BPJSTK.
“Untuk menghindari peraturan itu dibuatlah kontrak kerja rata-rata 2-3 bulan. Kalau mau dipekerjakan lagi, ya tanda tangan kontrak baru, tidak dibuat perpanjangan,” ungkap narasumber yang telah diputus kontrak kerja oleh PT BMI, Selasa (16/5/2023).
Senada juga disampaikan narasumber lainnya yang saat ini sedang dirumahkan oleh PT BMI. Pria yang saat ini nyambi bekerja serabutan itu mengungkapkan jika sistem kontrak kerja tersebut sudah berjalan sejak 2019 lalu hingga saat ini.
“Seperti saya yang saat ini sedang dirumahkan. Status saya nggak jelas, jika nggak diperlukan iya nggak dipakai. Tapi kalau dipanggil kerja lagi iya dibuatkan kontrak kerja baru lagi,” ungkapnya.
Selain merumahkan pekerjanya karena alasan kehabisan bahan baku, perusahaan yang berpusat di Jalan Margomulyo No 4 E Surabaya itu juga melakukan pemberhentian kontrak kerja secara masal pada akhir Maret 2023 lalu.
“Paling banyak pada 31 Maret lalu, dan infonya nanti pada bulan Mei juga akan ada lagi pemutusan kontrak kerja besar-besaran,” ungkapnya seraya meminta namanya tidak dipublikasikan karena khawatir tidak dipekerjakan lagi.
Disinggung soal PT BMI mendaftarkan dirinya ke BPJSTK dan BPJSKES, dia menggeleng dan menjawab singkat.
“Tidak ada (BPJSTK dan BPJSKES),” singkatnya.
Terpisah, HRD PT BMI Irna Farhani saat dikonfirmasi belum memberi respon terkait dengan permasalahan ini.
Sementara itu Praktisi Hukum Ketenagakerjaan Ratno Tismoyo, SH menyatakan pendapat hukumnya.
Sebagaimana diatur dalam PP 35 Tahun 2021, peraturan pemerintah ini diturunkan dari UU Cipta Kerja No 11 Tahun 2020, yang mengatur perjanjian kerja waktu tertentu, alih daya, waktu kerja dan waktu istirahat, dan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Menurut Ratno, dalam PP 35/2021, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dibedakan berdasarkan jangka waktu, yakni untuk pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu tidak terlalu lama atau paling lama 5 tahun; bersifat musiman; berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan dalam percobaan atau penjajakan.
“PKWT berdasarkan selesainya suatu pekerjaan tertentu, yakni untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya. Perjanjian Kerja Harian untuk pekerjaan tertentu yang jenis dan sifat atau kegiatannya tidak tetap, berubah-ubah dalam hal volume dan waktu, dan upah didasarkan pada kehadiran,” ujarnya.
Di UU Ketenagakerjaan, lanjutnya, PKWT berdasarkan jangka waktu dibatasi paling lama 2 tahun. Sedangkan dalam PP diubah menjadi paling lama 5 tahun.
Sedangkan untuk PKWT berdasarkan selesainya pekerjaan tertentu. Perpanjangan dapat dilakukan sampai batas waktu tertentu hingga selesainya pekerjaan.
Selain tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. PKWT juga tidak boleh mensyaratkan masa percobaan kerja (probation). Apabila tetap mensyaratkan masa percobaan, maka masa percobaan tersebut batal demi hukum.
Ditambahkan Ratno, PKWT paling sedikit memuat identitas perusahaan, identitas karyawan, jabatan dan jenis pekerjaan, tempat pekerjaan, besaran upah dan cara pembayarannya, hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja, jangka waktu perjanjian, tempat dan tanggal PKWT dibuat, dan tanda tangan para pihak.
PKWT juga wajib dicatatkan ke Dinas Ketenagakerjaan setempat (kabupaten/kota) secara daring paling lambat 3 hari setelah penandatanganan, atau dicatatkan tertulis paling lambat 7 hari setelah penandatanganan.
“Pekerja alih daya wajib diberikan perlindungan jaminan sosial pada BPJSTK dan BPJSKES. Pengusaha alih daya juga harus menjamin keberlangsungan kesejahteraan hak normatif pekerja pada saat pergantian kontrak dengan perusahaan alih daya yang lainnya. Ini menyangkut kesejahteraan. Dengan diberikannya program perlindungan bagi para pekerja itu, maka diyakini pekerja akan semakin produktif melaksanakan kinerja yang menjadi kewajibannya,” imbuhnya saat dimintai pendapat hukum terkait persoalan tenaga kerja kontrak yang tidak didaftarkan BPJSTK.
Terkait dengan perlindungan jaminan sosial, menurut Ratno, hal ini sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 11/2011 Pasal 14 yakni setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, wajib menjadi Peserta program Jaminan Sosial.
“Pasal 15 ayat 1 juga disebutkan bahwa Pemberi Kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan Pekerjanya sebagai Peserta kepada BPJS sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti,” ungkapnya.
Karena itu Ratno menegaskan dalam permasalahan buruh ini, jangan sampai ada perusahaan yang nakal atau tidak mau mendaftarkan dan membayarkan iuran wajib bagi karyawan atau pekerjanya.
“Bila hal ini tidak dijalankan, maka perusahaan dapat dikenakan sanksi. Mulai dari sanksi administrasi bahkan hingga sanksi pidana penjara,” bebernya.
Ratno mengisyaratkan agar para pekerja yang tidak didaftarkan BPJS Ketenagakerjaan oleh perusahaannya dapat meminta perlindungan hukum ke Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) setempat.
“Karena Disnaker juga sebagai pengawasan atas peraturan yang telah dibuat. Kalau memang ditemukan indikasi pelanggaran, perusahaan tersebut juga harus ditindak sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku,” tandasnya.