Brilian*Myanmar – Pada 8 Maret, jurnalis Nathan Maung dan Hanthar Nyein datang ke kantor mereka di Yangon, kota terbesar kedua Myanmar, untuk menyelamatkan beberapa peralatan, takut penguasa baru militer akan segera memerintahkan penggerebekan Kamayut Media, sebuah media berita online yang didirikan dua pria tersebut.
“Kami pikir mereka akan menggerebek kantor saat petang atau malam hari. Jika kami punya 30 menit lahi kami bisa melarikan diri,” kata Maung, warga negara AS kelahiran Myanmar.
“Tidak ada orang yang menjelaskan apapun. Mereka hanya tanya nama dan umur saya, mengambil gambar, menutup mata kami, menaikkan kami ke dalam mobil polisi dan berkendara 30 menit. Dan kemudian penyiksaan kami dimulai,” tuturnya pada media ini, Kamis (30/12).
Maung mengatakan, pasukan keamanan menutup matanya dan memukulnya, selama tiga sampai empat hari pertama. Dia tak diizinkan makan maupun tidur, dan pemukulan baru terhenti ketika mereka mengetahui dia seorang warga negara AS. Penutup matanya dibuka setelah delapan hari.
Pria 44 tahun itu menghabiskan tiga bulan di dalam penjara Insein yang paling terkenal di Yangon sebelum dibebaskan.
Hanthar Nyein (40), masih dalam penahanan.
“Saya sangat benci melihat dia melewatkan ulang tahun ke-40nya di penjara, sangat sulit bagi saya dan keluarga. Dia belum melihat wajah keponakan laki-lakinya, yang lahir pada April,” kata Maung.
Maung dan Nyein berada di antara 100 lebih jurnalis yang ditangkap setelah kudeta militer 1 Februari. Kudeta itu memicu protes massal nasional, yang kemudian direspons militer dengan kekuatan mematikan, membunuh ratusan orang dan akhirnya memicu pemberontakan sipil bersenjata melawan kekuasaan militer.
Dalam kekacauan ini, jurnalis Myanmar mempertaruhkan nyawa dan kebebasan mereka untuk mendokumentasikan pelanggaran HAM yang dilakukan militer.
Pada 14 Desember, fotografer lepas Soe Naing menjadi jurnalis pertama yang tewas sejak kudeta, dilaporkan meninggal dalam “interogasi kejam” saat berada dalam tahanan militer.
Myanmar juga masuk peringkat kedua terburuk di dunia yang memenjarakan jurnalis, berada di belakang China, dengan 26 jurnalis terkonfirmasi dipenjara per Desember 2021.
“Situasinya bahkan jauh lebih mengerikan daripada perkiraan total ini,” kata Committee to Protect Journalists (CPJ), kelompok yang membuat peringkat tersebut.
“Banyak jurnalis, di antara mereka orang Amerika Danny Fenster, dibebaskan menjelang sensus setelah berbulan-bulan di dalam penjara dan penelitian CPJ menemukan mungkin masih ada yang di dalam penahanan yang belum diidentifikasi sebagai reporter.”
Fenster, yang bekerja untuk majalah Frontier Myanmar, ditangkap pada Maret dan dibebaskan pada November, mendapatkan pengampunan beberapa hari setelah divonis 11 tahun penjara.
Jurnalis asing lainnya yang ditangkap dan dibebaskan termasuk jurnalis Polandia, Robert Bociaga, yang dilaporkan dipukul dan ditangkap saat meliput unjuk rasa di negara bagian Shan pada Maret dan dideportasi dua pekan kemudian.
Tapi jurnalis lokal tidak seberuntung itu.
Bulan ini, tiga jurnalis dari Kanbawza Tai News yang berbasis di negara bagian Shan divonis tiga tahun penjara atas dakwaan penghasutan di bawah Pasal 505 (a) hukum pidana Myanmar.
Jurnalis Myanmar yang berbasis di Yangon yang menjadi wartawan lepas media internasional, Cape Diamond, mengatakan repoter media lokal menghadapi lebih banyak bahaya.
“Dunia luar tidak benar-benar berpikir mereka juga orang penting. Saya sungguh tidak melihat nama mereka disebut, tapi mereka adalah orang yang harus dipuji,” jelasnya pada awak media.
‘Progres rapuh’
Sebelum kudeta militer, Myanmar telah mengambil langkah sementara untuk menciptakan kebebasan pers, tapi para jurnalis masih menghadapi banyak pembatasan.
“Kami tidak pernah memiliki kebebasan pers di Myanmar. Tentu, kami memiliki sedikit fleksibilitas, tapi itu bukan kebebasan,” kata Diamond, merujuk pada beberapa jurnalis yang ditangkap dan didakwa selama pemerintahan Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dipimpin Aung San Suu Kyi.
Contoh yang paling terkenal adalah Wa Lone dan Kyaw Soe Oo, dua jurnalis Reuters yang dipenjara setelah mengungkap pembantaian militer terhadap Rohingya di negara bagian Rakhine pada 2017. Suu Kyi menuai kecaman internasional ketika membela tindakan kejam militer terhadap kelompok minoritas Muslim tersebut sebagai operasi anti-pemberontakan yang sah, sementara kelompok HAM melabelinya genosida.
Suu Kyi juga membela penangkapan Wa Lone dan Kyaw Soe Oo pada September 2018, bersikeras mereka tidak dipenjara karena mereka jurnalis.
Situasi kebebasan pers di Myanmar telah memburuk sebelum kudeta, “sekarang, rupanya kami tidak memiliki fleksibilitas sama sekali,” kata Diamond.
Reporters Without Borders (RSF) juga mengatakan kudeta militer “membuat kemajuan rapuh itu ke ujung yang curam dan membuat jurnalis Myanmar mundur 10 tahun”.
‘Mereka tidak tahu tentang kami’
Hari ini, jurnalis ditargetkan dalam kekerasan brutal militer yang sulit membedakan antara media dan lawan politik. Selain penangkapan dan penyiksaan dalam tahanan, beberapa reporter terluka saat meliput unjuk rasa.
Pada Maret, seorang reporter Frontier Myanmar ditembak di tangan saat meliput unjuk rasa di Mandalay. Pada Desember, dua jurnalis terluka, satu kritis, ketika seorang tentara menabrakkan truk ke kelompok kecil pengunjuk rasa damai di Yangon, menewaskan lima orang.
“Mereka tidak peduli apakah Anda seorang jurnalis atau seorang pengunjuk rasa,” kata Diamond.
Diamond mengatakan jurnalis tidak bisa membawa kamera karena itu bisa membuatnya menjadi target. Mereka harus mewaspadai pemeriksaan acak di seluruh kota termasuk penggerebekan tengah malam.
Ketika dia ditangkap, Maung, redaktur pelaksana Kamayut Media, mengatakan dia kaget betapa sedikit yang diketahui pasukan keamanan tentang dirinya dan jurnalisme secara umum.
“Mereka menangkap kami dan mereka tidak tahu tentang kami. Sangat berbeda dibandingkan saat Khin Nyunt ketika intelijen militer tahu segalanya,” ujar Maung, menyebut ahli mata-mata di bawah pemerintah militer sebelumnya.
Maung mengatakan, penyelidik yang menginterogasinya berulang kali menanyakan soal pendanaan asing dan khususnya marah dengan sebuah artikel Reuters yang diterbitkan Kamayut di situs mereka. Dia harus menjelaskan konsep layanan kawat kepada penyelidik.
Diamond mengatakan ada dua rekan terdekatnya yang ditangkap dan dibebaskan sejak kudeta tapi dia menolak menyebutkan nama mereka. Selain ditanya soal pendanaan asing, sebagian besar jurnalis diinterogasi soal apakah mereka memiliki keterkaitan dengan perlawanan bersenjata atau Perang Perlawanan Rakyat yang dideklarasikan pemerintah sipil (NUG) yang dibentuk pada Agustus oleh legislator Myanmar yang digulingka atau NUG.
Ketika produser BBC Media Action, Htet Htet Khine ditangkap pada Agustus, dia didakwa UU Asosiasi Ilegal terkait dugaan komunikasi dengan NUG. Dia masih dipenjara saat ini.
Militer Myanmar mendapat tekanan besar agar segera membebaskan puluhan jurnalis yang ditangkap setelah kudeta. Pada Oktober, militer membebaskan 5.000 tahanan yang ditangkap selama unjuk rasa anti-kudeta, termasuk 13 pekerja media.
Maung berusaha tetap penuh harapan bahwa Hanthar Nyein akan berada di antara tahanan yang akan dibebaskan selanjutnya yang mendapat pengampunan, tapi dia tidak tahu kapan itu akan terjadi.
“Mungkin sebelum Natal?” ujarnya pada 17 Desember lalu.
“Hari Kemerdekaan Burma? Mungkin besok atau lusa, pungkanya mengakhiri perbincangan bersama awak media.”