Brilian•Kalimantan Selatan – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Bupati Hulu Sungai Utara (HSU) Abdul Wahid sebagai tersangka korupsi. Dia diduga berulang kali menerima suap dan gratifikasi, di antaranya terkait pengadaan barang dan jasa Kabupaten HSU tahun anggaran 2021-2022.
Dalam laman laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang diakses melalui elhkpn.kpk.go.id, Abdul Wahid tercatat memiliki harta Rp 5.368.816.339. Harta itu dia laporkan pada 31 Maret 2021.
Dalam laman tersebut, Abdul Wahid hanya melaporkan harta tidak bergeraknya berupa tanah dan bangunan serta kas dan setara kas lainnya. Untuk aset berupa tanah dan bangunan, Abdul Wahid memiliki dua bidang di Hulu Sungai Utara dengan nilai Rp 4.650.000.000.
Sementara kas dan setara kas dia senilai Rp718.816.339. Dia melaporkan tak memiliki harta bergerak, berupa mobil dan lainnya. Sehingga total harta kekayaannya mencapai Rp 5.368.816.339.
Kasus yang menjerat Abdul Wahid ini bermula dari operasi tangkap tangan (OTT). Dalam OTT, KPK mengamankan 7 orang. Tiga di antaranya dijadikan tersangka kasus dugaan suap pengadaan barang dan jasa dalam dua proyek lelang Rehabilitasi Jaringan Irigasi DIR pada dua desa di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan.
Ketiganya adalah Maliki selaku Plt Kadis PU pada Dinas PUPRT Kabupaten Hulu Sungai Utara sekaligus pejabat pembuat komitmen (PPK) dan kuasa pengguna anggaran (KPA), Marhaini selaku Direktur CV Hanamas, dan Fachriadi selaku Direktur CV Kalpataru.
Abdul Wahid yang merupakan Bupati HSU dua periode ini menunjuk Maliki sebagai Plt Kepala Dinas PUPRP Kabupaten HSU. Diduga ada penyerahan sejumlah uang oleh Maliki untuk menduduki jabatan tersebut. Penyerahan uang atas permintaan Abdul Wahid.
Kemudian, pada awal 2021, Maliki menemui Abdul Wahid dan melaporkan terkait plotting paket pekerjaan lelang pada Bidang Sumber Daya Air Dinas PUPRP Hulu Sungai Utara tahun 2021. Dalam dokumen itu, Maliki telah menyusun dan menyebutkan nama-nama dari para kontraktor yang akan dimenangkan dan mengerjakan berbagai proyek.
Abdul Wahid menyetujuinya dengan syarat pemberian komitmen fee dari nilai proyek dengan persentase pembagian fee, yaitu 10% untuknya dan 5% untuk Maliki. Komitmen fee yang diduga diterima Abdul Wahid melalui Maliki di antaranya dari Marhaini dan Fachriadi dengan jumlah sekitar Rp500 juta.
Selain melalui perantaraan Maliki, Abdul Wahid juga diduga menerima komitmen fee dari beberapa proyek lainnya melalui perantaraan beberapa pihak di Dinas PUPRP Kabupaten Hulu Sungai Utara. Pada tahun 2019 sekitar Rp4,6 miliar, tahun 2020 sekitar Rp12 miliar, dan tahun 2021 sekitar Rp1,8 miliar.
Atas perbuatannya, Abdul Wahid, disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 B UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Jo Pasal 64 KUHP Jo Pasal 65 KUHP.