Brilian•Jakarta – Nasib maskapai penerbangan BUMN, Garuda Indonesia kini di ujung tanduk. Secara teknis, perusahaan sudah bisa dibilang bangkrut karena tak mampu membayar utang yang terus menumpuk. Maskapai nasional kebanggaan Indonesia tersebut bahkan beberapa kali digugat investor karena terlambat membayar utang.
Pada 9 Juli 2021, PT My Indo Airlines menggugat Garuda Indonesia di Pengadilan Niaga Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Terbaru, Garuda Indonesia kembali terancam pailit akibat permohonan PKPU oleh PT Mitra Buana Korporindo pada 22 Oktober 2021.
Direktur Celios (Center of Economic and Law Studies), Bhima Yudhistira menyebut bahwa butuh dana besar untuk menyelamatkan Garuda Indonesia. Dia bahkan menyarankan sebaiknya Garuda Indonesia ditutup atau dipailitkan saja. Kemudian setelah itu pemerintah bisa membuat bisnis penerbangan baru dengan bisnis yang berbeda.
“Sudah engga bisa diselamatkan ya. Sebaiknya force closure saja, atau diusahakan untuk di pailitkan dan memulai lagi bisnis penerbangan dengan model bisnis yang berbeda. Misalnya fokus untuk logistik dan rute domestik dengan kapasitas pesawat yang lebih kecil. Jadi ada fresh start yang baik,” ucap Bhima kepada media ini di Jakarta, Selasa (9/11).
Bhima menyebut, utang jatuh tempo Garuda Indonesia mencapai Rp100 triliun dan jumlah terus bertambah. Dalam pandangan dia, jika negosiasi dengan pemberi utang atau kreditur belum tentu menyelamatkan maskapai tersebut ke depannya.
“Menyelamatkan Garuda Indonesia cost-nya terlalu mahal. Jumlah utang yang jatuh tempo terlalu besar untuk diselamatkan karena mencapai Rp100 triliun dan terus bertambah, jika dilanjutkan negosiasi belum tentu menyelesaikan permasalahan. Problemnya terletak pada beban operasional Garuda yang terlalu gemuk,” jelasnya.
Salah satu cost atau biaya yang mahal di Garuda Indonesia adalah sewa pesawat. Mengutip data Bloomberg, porsi sewa pesawat dibanding pendapatan Garuda mencapai 24,3 persen. Jumlah ini jauh di atas rata rata maskapai di negara lain yang berkisar 5 sampai 8 pesen.
“Alhasil opsi bailout jelas merugikan keuangan negara. Belum tentu bisa comeback dengan dividen yang besar, tapi negara harus keluar dana yang sangat besar. Itu jelas sulit sekali, terlebih pemerintah perlu alokasi dana lain yang lebih urgen di tahun 2022,” katanya.
Dugaan Mafia Sewa Pesawat
Mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Muhammad Said Didu menyebut bahwa persoalan menimpa Garuda Indonesia dari masa ke masa masih sama, yakni masalah penyewaan pesawat dari lessor. Permasalahan itulah yang kemudian membuat beban keuangan Perseroan menjadi tertekan.
Dia mengatakan, permasalahan penyewaan pesawat Garuda Indonesia bukan sesuatu hal yang baru. Masalah itu sudah mencuat sejak zaman Pemerintahan Gus Dur, kemudian berlanjut di era Pemerintahan Megawati.
“Saya perlu jelaskan dulu Garuda sebenarnya berkali-kali menghadapi hal seperti ini dan selalu biang keroknya adalah penyewaan pesawat itu selalu. Jadi diperbaiki pada saat Presiden Gus Dur terus rusak lagi pada saat Pemerintahan Megawati 2003-2004,” kata Said Didu dikutip dari akun Youtubenya MSD, Rabu (3/11).
“Jadi kita memang harus menduga bahwa ada ada mafia penyewaan pesawat ke Indonesia kita harus mulai curiga,” sambung Said Didu.
Oleh karena itu, Said Didu menyarankan agar pemerintah untuk segera melahirkan Garuda baru. Ini merespon melihat kondisi PT Garuda Indonesia Tbk yang saat ini tengah terancam pailit akibat masalah penyewaan pesawat terhadap lessor.
“Maka saya katakan melahirkan Garuda baru. Periksa semua permainan-permainan selama ini, buat komitmen baru,” kata Said Didu dikutip dari akun Youtubenya MSD.
Dia mengatakan, langkah ini bukan untuk menyelamatkan kondisi Garuda Indonesia. Akan tetapi membentuk Garuda baru dengan sistem dan kultur-kultur baru demi menghindari kerugian lebih besar.
“Namanya tetap Garuda. Komitmen baru saja mungkin terpaksa dibikin kontrak baru dengan serikat pekerja tentang penggajian sistem dan lain-lain itu diubah semua,” ujarnya.
Masalah Korupsi
Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) II, Kartika Wirjoatmodjo mengungkapkan, permasalahan Garuda Indonesia saat ini disebabkan dua faktor. Pertama, pandemi. Kedua, korupsi.
“Saya sering ditanya Garuda ini kinerja turun karena apa, karena korupsi atau karena covid, ya karena dua-dua nya. Dua-duanya membuat kondisi Garuda saat ini jadi sedang tidak baik,” katanya dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VI DPR RI, Selasa (9/11).
Pada kesempatan tersebut, dia juga menuturkan bahwa pihaknya sulit memprediksi cashflow Garuda Indonesia ke depannya. Ini karena adanya pengetatan mobilitas yang diberlakukan sehingga mempengaruhi kinerja maskapai.
“Ini jadi situasi sulit, di satu sisi memiliki cost structure yang tinggi, tapi di sisi lain pendapatannya terus tergerus,” kata Tiko, sapaan akrabnya.
Tiko mengakui, bahwa Garuda Indonesia telah dalam keadaan technically bankrupt atau bangkrut secara teknis. Hal ini ditunjukkan bahwa kewajiban Garuda Indonesia sudah tak dibayar.
Pria yang akrab disapa Tiko ini menyebut, per September 2021, neraca keuangan Garuda Indonesia berada pada posisi negatif USD 2,8 Miliar. Hal ini yang jadi salah saru dasar secara teknis, maskapai pelat merah itu telah mengalami kebangkrutan.
“Jadi ini rekor kalau dulu dipegang Jiwasraya sekarang sudah disalip Garuda,” katanya dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VI DPR RI, Selasa (9/11).
Triliunan Uang Negara untuk Selamatkan Garuda Indonesia
Pemerintah mengupayakan berbagai cara untuk menyelamatkan Garuda Indonesia. Wakil Menteri BUMN II, Kartika Wirjoatmodjo bahkan akan negosiasi dengan Kementerian Keuangan untuk mencairkan dana Rp7,5 triliun.
Dana untuk suntikan modal ke Garuda Indonesia ini bersumber dari dana investasi pemerintah dalam rangka pemulihan ekonomi nasional (IP-PEN) tahun 2020 yang disiapkan untuk maskapai pelat merah itu.
“Dari yang disampaikan pada beberapa rapat yang lalu, sebenarnya masih ada program IP PEN sebesar RP7,5 triliun yang masih ada di rekening sementara di Kementerian Keuangan. Dulu kan di awal 2020 itu sebesar RP8,5 triliun yang sempat cair Rp1 triliun,” katanya dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR RI, Selasa (9/11).
Namun, pencairan dalam bentuk obligasi wajib konversi (OWK) itu tidak lagi cair karena Garuda Indonesia tak lagi bisa memenuhi parameter yang dibuat pemerintah.
“Ini kita negosiasi dengan Kemenkeu, pokoknya Rp7,5 triliun ini bisa nego parameternya dan skemanya. Sebab kalau menggunakan parameter dan skema yang tahun 2020 itu gak ketemu sama sekali,” katanya.
“Ini kami sedang nego bagaimana bisa manfaatkan rekening IP-PEN yg sudah di disburse (disbursement) tapi belum dimanfaatkan, namun tentunya dengan skema dan dengan KPI yang berbeda. Ini tentunya kami mohon dukungan,” tambahnya.
Tiko menambahkan, dari dana tersebut, sebesar USD 90 juta atau sekitar Rp1,2 triliun akan digunakan untuk awal proses hukum. Karena kata dia, kreditur ingin di awal ada semacam token dari pemerintah untuk menunjukkan komitmen menyelesaikan permasalahan.
“Namun sisanya dicairkan setelah proses restrukturisasi sepakat. Jadi kondisional, Kalau mereka sepakat turunkan utangnya, mengurangi biaya leasingnya, baru pemerintah komitmen tambah modal baru, Ini nanti kondisional tergantung negosiasi,” kata dia.
Namun, Tiko menegaskan bahwa dia membutuhkan token tersebut untuk menjaga Garuda Indonesia tetap beroperasi selama proses negosiasi berjalan sekitar 4 sampai 5 bulan ke depan.
“Diharapkan nego dengan Kemenkeu diharapkan bisa ada kesepakatan dengan bentuk skema dan jaminan yang diterima Kemenkeu. Sisanya kita akan dorong dan baru kemudian kami akan disbursement kalau sudah ada persetujuan dari kreditur lain disepakati,” pungkasnya mengakhiri perbincangan bersama awak media ini.
Artinya sisa dana tersebut akan dicairkan setelah ada kesepakatan dari kreditur untuk menurunkan utang, bunga, dan biaya sewanya ke Garuda Indonesia dalam proses restrukturisasi.