Gocekan Anggaran Koruptor Amatiran

Ilustrasi korupsi

Brilian•Jakarta – SJ takkan bisa melupakan hari itu. Sebulan lalu, September 2021. Seperti biasa, dia menyelesaikan beberapa pekerjaan di kantor Desa Sodong, Kecamatan Saketi, Pandeglang, Banten. Sudah dua periode dia menjabat kepala desa. Jelang siang, tamu tak diundang datang. SJ kaget bukan kepalang. Mereka mengaku sebagai petugas kepolisian. Ingin melihat bangunan di desanya.

“Semua aparat desa, tukang dipanggil. Mereka tanya bangunan sampai drainase ke saya,” cerita SJ saat berbincang dengan media ini, beberapa waktu lalu.

Sudah kurang lebih sebulan ini SJ mendekam di balik jeruji besi. Bersama putranya YP. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi program Dana Desa tahun anggaran 2019 untuk pembangunan di Desa Sodong.

Bacaan Lainnya

SJ menceritakan awal mula kasus yang membuatnya mendekam di tahanan. Tahun 2019, desanya mendapat bantuan dana desa senilai Rp772.547.800. Dana dibagi tiga tahap. Pertama pada 22 April 2019 sebesar Rp154.566.800. Kedua sebesar Rp309.133.600 dan terakhit pada 17 Desember 2019 sebesar Rp309.133.600.

Mengacu proposal pengajuan dana desa, seharusnya dana itu digunakan untuk penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Pembangunan Desa, Pembinaan Desa dan Pemberdayaan masyarakat Desa serta Penyertaan Modal Bumdes.

Pengakuan SJ, dana itu digunakan membangun beragam kebutuhan dan infrastruktur desa. Mulai dari gazebo hingga air bersih. Dia pastikan pula, selama proses pembangunan ada monitoring dari kecamatan. Namun diakuinya, ada kesalahan yang dilakukan. Mengambil keuntungan dari proyek yang berjalan.

“Jadi tidak semena-mena ambil uang 100 persen,” katanya.

Kasus ini ternyata sudah satu tahun dipantau kepolisian. Polisi baru bergerak dan melakukan penahanan setelah SJ kalah dalam pertarungan pemilihan kepala desa.

“Kami menunda agar tidak terjadi kegaduhan. Alhasil tersangka kalah dan kita baru menindak tersangka,” kata Kasat Reskrim Polres Pandeglang AKP Fajar Mauludi.

Dari hasil penyelidikan Polisi, realisasi dana desa Sodong hanya sebesar Rp354.413.135. Sisanya Rp418.134.664 tidak digunakan sesuai peruntukan pembangunan desa. SJ berulang kali diperiksa. Tak hanya SJ, putra sulungnya yakni YP yang bekerja sebagai Kaur Keuangan ikut terseret. Pada akhir Oktober 2021, keduanya ditetapkan tersangka setelah Polisi memeriksa 27 orang saksi.

“Pencalonan kemarin saya kalah. Seminggu kemudian dapat surat panggilan dari Polres. Saya kira ada kekurangan, tahunya jam 4 sore dibawalah saya ke kejaksaan dan ditahan,” ungkapnya sambil menunduk.

SJ mencoba meyakinkan bahwa dia tidak memainkan harga dari bahan-bahan proyek yang dikerjakan dengan dana desa. Alasannya, dalam mengerjakan proyek, mereka dibantu seorang konsultan. Tetapi dia tidak memungkiri. Setiap pembelanjaan bahan, ada potongan harga. Maka dana itu akan masuk ke kantong mereka.

Dia mencontohkan, dalam RAB atau Rencana Anggaran Belanja, dana untuk pengadaan paving blok Rp50.000. Dalam pelaksanaannya, mereka menawar harga. Sehingga disetujui harga Rp45.000. Kelebihan itulah dimanfaatkan SJ. Diyakininya, cara semacam ini juga dilakukan hampir semua kepala desa penerima dana desa. Demi mendapatkan keuntungan.

“Kalau bicara kelebihan kita menyadari. Kelebihan pasti saya makan. Semua desa pasti begitu. Tapi nanti di laporan harga aslinya,” katanya.

Selama bekerja termasuk pengelola dana desa, SJ dibantu putranya YP. Sejak 2017, YP membantu ayahnya sebagai kepala urusan keuangan dan operasional desa. SJ menolak tindakannya dianggap sebagai nepotisme. Dia melibatkan anaknya dengan alasan memiliki keahlian di bidang IT. Pekerjaan itu sedang dibutuhkan di Kantor Desa Sodong.

SJ meminta YP membantunya menginput anggaran ke aplikasi Siskudes. Anggaran itu pengajuan dari Musyawarah Desa dan Musyawarah Dusun. Ketika anggaran siap dicairkan, YP menemani SJ.

YP menduga, buruknya sistem administrasi mereka mengelola dana desa menambah daftar dosa mereka dalam kasus ini. Sebab seharusnya, semua dana dikeluarkan tercatat dengan rapi sebagai bukti laporan.

“Bukti pendukung SPJ-nya memang saya tidak lengkap. Nota segala macamnya. Pokoknya administrasi saya yang kurang. Kelalaian saya di situ,” curhat YP.

Kasus korupsi dana desa kerap menjadi bahan pemberitaan. Nilai korupsinya ratusan juta. Tidak seperti korupsi kelas kakap yang nilai kerugiannya bisa mencapai miliaran bahkan triliunan rupiah. Kasus korupsi kecil-kecilan di daerah biasanya tidak masuk dalam radar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dalam UU KPK dijelaskan, lembaga antirasuah hanya bisa menagani jika kasus korupsinya di atas Rp1 miliar. Syarat kedua, pihak yang beperkara adalah penyelenggara dengan level terendah kepala daerah. “Kalau kepala desa, KPK tidak bisa tangani,” kata mantan penyidik KPK Yudi Purnomo.

Berbeda dengan yang terjadi di Bekasi. Sebanyak 488 toilet dengan konsep Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) dibangun di berbagai sekolah dasar. Menggunakan APBD Kabupaten Bekasi tahun 2020. Total nilainya mencapai Rp98 miliar. Kejanggalan proyek pembangunan toilet sekolah membuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turun tangan. Salah satunya, kualitas bangunan yang diduga tidak sesuai dengan pagu anggaran.

Masing-masing pembangunan toilet di sekolah dasar nilainya berbeda. Namun rata-rata pembangunan satu toilet menghabiskan anggaran sekitar Rp190 juta. Kasus ini muncul ke permukaan pada Desember 2020. Saat itu, Bupati Bekasi, Eka Supria Atmaja berjanji akan mengevaluasi pengerjaan proyek setelah rampung.

Modus Sama

Berbekal pengalamannya bekerja sebagai penyidik di KPK, Yudi paham betul modus yang digunakan para koruptor. Baik koruptor kelas kakap hingga amatiran. Modusnya sama, mengambil uang rakyat. Yang membedakan adalah caranya. Masing-masing pelaku memiliki cara berbeda.

Contohnya, melakukan mark up harga bahan baku proyek. Dengan begitu, mereka mendapatkan margin keuntungan. “Ada yang mungkin dia mainkan proyek, ada yang dia menunjuk langsung nanti dapat suap. Beda-beda cara ambilnya,” jelas Yudi.

Modus lain, biasanya aparat desa mengurangi ketentuan dalam sebuah proyek. Misalnya, pengurangan volume bahan bangunan. Itu sebabnya, masyarakat diminta membantu mengawasi dana desa agar benar-benar dirasakan manfaatnya oleh semua.

“Coba di desa minta apdes-nya. Apa buat gorong-gorong, gedung serbaguna dan lain-lain. Biayanya ada uang ini diprioritaskan untuk apa, buat apa, ada semuanya tuh,” kata Kapuspen Kejagung, Eben Simanjuntak.

Perbedaan mencolok praktik korupsi di desa dan kota besar, antara koruptor kelas kakap dan amatiran, biasanya dilihat dari jumlah uang dikorupsi. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Dewi Anggraeni melihat, pada dasarnya modus para koruptor sama. Paling umum ditemukan terkait pelanggaran administrasi. Selain itu, ada faktor kebingungan aparatur desa.

Dewi melihat banyak pengelola anggaran yang kebingungan. Di satu sisi jika tidak digunakan, bisa dipersoalkan. Di sisi lain, kesalahan dalam pencairan bisa berujung petaka. Seharusnya aparatur desa dan masyarakat diberikan pelatihan perencanaan untuk mengelola dana besar.

“Jadi cuma sekadar kasih uang, seperti buka keran baru. Sebenarnya entah bisa disebut bagi-bagi anggaran atau supaya ada celah,” kata Dewi.

Yudi menambahkan, praktik korupsi muncul karena seorang pejabat memiliki rasa puas yang tak ada habisnya. Sehingga meski sudah memiliki jabatan dan pengaruh, masih merasa kekurangan. Mereka merasa belum cukup karena ingin hidup lebih mewah dalam segala hal.

“Kalau saya lihat itu karena kerakusan. Korupsi itu kan ada karena kebutuhan, ada karena rakus. Paling banyak justru karena rakus,” jelas Yudi pada awak media.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *